Share
Dalam suatu percakapan ada seorang ayah (pernah) menasehati anak laki-lakinya yang suka marah-marah dan bete dengan orang lain. Intinya ia kesal dengan orang lain. Baik itu dengan orang yang pernah disakiti olehnya maupun ia pernah disakiti oleh orang itu. Pokoknya ia ilfil kalau melihat orang lain. Lalu anak laki-lakinya tersebut diajak menuju ke istal (kandang kuda), ayahnya pun mengatakan,” Anakku jika engkau marah maka tanamkanlah sebatang paku ke pagar itu. Semakin engkau marah, engkau pukul paku-paku itu keras-keras. Begitu seterusnya.”
Sejak saat itu, jika ia marah kepada siapa pun, ia selalu memukul sebatang paku pada pagar kandang kuda seterusnya sekuat tenaganya, dan ia sangat mampu melakukan hal itu. Sebulan kemudian, dengan bangganya dan cekatan ia menunjukan kepada orangtuanya bahwa paku-paku yang ia hujamkan pada pagar kandang kuda semakin banyak.
Lalu, ayahnya pun mengatakan,” Nah sekarang engkau bisa menahan marah dan tidak jadi marah, bahkan bisa meminta maaf kepada orang lain, lalu cabut paku-paku itu satu-persatu. Begitu setertusnya!” Menerima tantangan tersebut dengan mantap ia mengatakan,” Oke!” Siapa takut!” Tanpa tahu apa maksud yang diberikan ayahnya kepada dirinya.
Sebulan kemudian, ayahnya bertanya,” Adakah paku yang sudah dicabut?”
Dengan mantap ia menjawab,” Sudah semua, Pak!”
Lantas ayahnya ingin melihat “hasil karya” si anak tadi ke pagar kandang kuda. Di pagar kandang kuda tersebut, ayahnya mengatakan bahwa semua paku yang sudah tercabut, namun masih meninggalkan bekas lubang yang terlihat jelas. Hal itu berarti ketika kita memarahi seseorang kita akan menanamkan luka yang (amat) dalam pada diri orang yang yang dimarahi tersebut. Bahkan, jika kemudian kita meminta maaf (mencabut kembali paku) tersebut), hal itu tetap meninggalkan luka yang menganga (bekasnya).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment