Share
26 Oktober 2010, Merapi beraksi. Awan panas, lava yang berpijar, menghanguskan dan memporakporandakan kawasan sekitarnya. Telah muncul puluhan korban, termasuk Mbah Marijan – yang dikenal sebagai juru kunci Merapi. 3 November, Merapi beraksi lagi, lebih dahsyat. Lewat mata bathin mereka yang waskito, bisa diperkirakan bahwa aksi Merapi belum akan berakhir. Bahkan bisa saja menjadi jauh lebih dahsyat. Dan korban yang muncul bisa lebih banyak lagi. Daya rusak Merapi bahkan bisa memasuki Kota Jogja, sesuatu yang di luar kelaziman, karena selama ini Kota Jogja seolah terlindung dari bencana yang diakibatkan amarah Merapi.
Apa makna semua ini? Perlu kita sadari bahwa apa yang tengah terjadi, sudah dinujumkan. Ditarik 500 tahun ke belakang, pada momen yang menandai kehancuran Majapahit, Eyang Sabdapalon memyampaikan kata-kata yang menggetarkan – di hadapan Prabu Brawijaya V dan Sunan Kalijaga:
“Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam Wit kula puniki yekti Ratuning Dang Hyang Jawi Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jemeneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan”.
Artinya: Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tidak masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dah Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa. Sudah digariskan kita harus berpisah.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Nung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Budha kula sebar tanah Jawa.
Artinya: Berpisah dengan Sang Prabu kembali keasal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi (maksudnya kawruh budhi/pengetahuan budhi), saya sebar seluruh tanah Jawa.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajeken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen during lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus rijeblug mili lahar.
Artinya: Bila tidak ada yang mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya...
Ngidul ngilen purugina, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar Agama Budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.
Artinya: Lahar tesebut mengalir ke barat daya. Baunya tidak sedap. Itulah pratanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Budha (maksudnya kawruh budhi/pengetahuan budhi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus berganti. Tidak dapat bila dirubah lagi.
Kata-kata Eyang Sabdapalon, sesungguhnya menggambarkan kegetiran yang mendalam. Sebuah tatanan yang telah dirajut nama, hancur oleh kekuatan baru yang mengatasnamakan Agama yang Sempurna dan Menyempurnakan. Kebaikan hati yang tidak diiringi kewaspadaan dan ketegasan, ternyata menjadi pintu masuk tragedi berkepanjangan. Jawa – dan Nusantara secara keselurulah, perlahan namun pasti, luluh lantak, secara politik, ekonomi, dan budaya. 500 tahun setelah drama keruntuhan Majapahit itu, kita sama-sama bisa menyaksikan bagaimana degradasi secara politik, ekonomi, dan budaya itu, mencapai titik terendahnya. Kita memasuki titik nadir.
Kolonialisasi oleh Belanda dan Jepang memang berakhir pada 1945, tapi secara politik dan ekonomi, Nusantara yang kini mewujud menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih jauh dari kata berdaulat. Simpul-simpul kekuatan politik terbajak oleh segelintir orang yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi, bersimbiosis dengan kekuatan asing yang berhasrat menjarah dan mengeruk sumber daya ekonomi negeri ini dengan sepuas-puasnya. Hutan terjarah, tambang terjarah, pasarpun tak lagi merupakan ruang kemandirian ekonomi. Hingga pelosok-pelosok desa, uang disedot oleh mesin-mesin ekonomi milik konglomerasi. Rakyat kebanyakan betul-betul hanya bisa menikmati remah pembangunan. Maka kemiskinan bahkan kemelaratan adalah sebuah gambaran nyata, walau digembar-gemborkan pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik.
Dan yang lebih mengerikan adalah hancur leburnya budaya bangsa. Di satu sisi, modernisasi yang datang seiring dengan masuknya imperialisme politik dan ekonomi gaya baru, membuat banyak warga bangsa menjadi modern dalam pengertian yang peyoratif: mereka lupa bagaimana sebetulnya jatidiri sebagai bangsa Indonesia. Saat yang sama, Agama yang diklaim sebagian besar pemeluknya sebagai Sempurna dan Menyempurnakan itu – dan secara politik pada 500 tahun lalu mewujud dalam Kerajaan Demak yang meluluhlantakkan Majapahit - walau terkesan bertentangan dengan modernisasi, hakikatnya sesungguhnya sewarna: membuat sebagian besar warga bangsa ini melupakan jatidirinya hingga pada titik menistakan kearifan lokal dari para leluhurnya sendiri.
Wong Jowo ilang jawane, malah dadi rib iriban. Orang Jawa lupa akan kejawaannya, malah berbangga-bangga dengan budaya padang pasir yang disangka sebagai Ajaran Tuhan yang paling sempurna. Kerarifan lokal dianggap sebagai tahayul, bahkan kemusyrikan, yang pelakunya hanya layak diganjar dengan neraka jahanam. Keberadaan para pengasuh dan pengayom Tanah Jawa, tak lagi mendapatkan tempat dalam sistem berpikir dan sistem keyakinan Wong Jowo sing wis ilang jawane. Demikian pula, leluhur tak lagi digubris ajaran luhurnya – bahkan di tempat dimana raga para leluhur itu dikebumikan – beliau-beliau disapa dan didekati dengan bahasa padang pasir – bukan dengan bahasa Jawa – karena menganggap bahasa padang pasir itulah “bahasa Tuhan”. Sempurna sudah sebuah pembalikan tatanan: kita bahkan tak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Melihat itu semua, bukankah sepantasnya jika Ibu Pertiwi menjerit, dan para penjaga ghaib di Tanah Jawa ini meradang, termasuk Ki Jurutaman di Merapi? Juga Kanjeng Ratu Kidul dengan para manggalanya yang bertahta di Laut Selatan?
Masa Depan Islam
Rangkaian bencana di Tanah Jawa dan berbagai tempat lain di Nusantara, adalah pertanda bangkitnya Agama Budhi, spiritualitas ala Jawa atau Nusantara yang mengedepankan budi pekerti luhur sekaligus penuh dengan sikap toleran. Salah satu bentuk dari spiritualitas yang mengalami kebangkitan itu adalah Kejawen, seperangkat falsafah dan nilai luhur yang lahir dan tumbuh di bumi pertiwi ini, dikreasi oleh para leluhur mulya, berlandaskan Kitab Sastra Jendra yang tidak berwujud lembaran kertas, melainkan berbentuk hati yang selalu basah karena sikap eling lan waspodo, dan alam yang menggelarkan tanda-tanda kebenaran dari Gusti Ingkang Mohogung. Banyak anak-anak muda, tanpa disangka tanpa diduga, terpanggil dan terpilih untuk mengusung kearifan lokal Nusantara ini. Berangkat dari baju agama yang bermacam-macam, anak-anak muda ini tiba-tiba menjangkau kesadaran spiritual yang tinggi, dan dengan berani lalu hidup berlandaskan kesadaran baru itu: menjadi pembela kearifan lokal!
Lihatlah, di seluruh tempat di Nusantara, anak-anak muda ini tampil menyuarakan kebenaran yang lama tertindas dan tak mendapatkan tempat. Suara-suara leluhur Nusantara, juga gagasan-gagasan besar mereka, seperti mendapatkan penyaluran lewat pikiran dan kiprah anak-anak muda ini. Maka, demikianlah, Eyang Sabdapalon membuktikan kata-katanya: Agama Budhi akan menyebar kembali di Jawa bahkan Nusantara.
Pertanyaan besarnya, bagaimana kemudian dengan nasib agama-agama yang selama ini mewarnai Nusantara? Khususnya 5 agama resmi yang diakui negara? Agama-agama yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan baru ini, akan mengalami kiamat, akan hancur luluh lantak, ditinggalkan pemeluknya yang memiliki kesadaran baru.
Termasuk Islam, walau diklaim sebagai agama yang sempurna dan menyempurnakan, jika tidak bisa menyesuaikan diri, dan tidak mereformasi atau bahkan merevolusi diri, maka takdirnya adalah kehancuran ditelan oleh gelombang perubahan.
Dalam hal ini, sudah semestinya umat Islam mengenang kembali, bagaimana Islam yang diajarkan oleh Syeikh Subakir, seorang pendakwah paling awal di Nusantara. Pelajarilah simbol yang tertera nyata di Gunung Tidar: petilasan Syeikh Subakir bersanding dengan petilasan Dang Hyang Ismaya. Islam bisa diterima oleh bumi nusantara pada kala itu, termasuk oleh makhluk ghaibnya, hanya ketika pemeluknya – terutama ulamanya - bersedia berkomitmen untuk tetap menyesuaikan diri dengan - bahkan melestarikan - kearifan lokal. Orang Jawa yang menjadi Muslim – dan mengikuti garis dakwah Syeikh Subakir – tidak mesti mengikuti sepenuhnya Islam ala padang pasir. Yang seharusnya ditangkap adalah esensi Islam: sikap berserah diri total kepada Kebenaran, juga sikap penuh damai, dan sikap menebar keselamatan terhadap diri sendiri, sesama, dan seluruh semesta alam. Umat Islam harus cerdas memilah, mana Kebenaran Universal yang muncul dari Ruhul Qudus di dalam raga seorang Muhammad, mana yang merupakan tradisi lokal padang pasir.
Lebih dari itu, umat Islam yang mengikuti mazhab Syeikh Subakir, tak bisa lagi berlaku sombong dengan menyatakan diri sebagai pemilik kebenaran satu-satunya. Sadarilah bahwa ajaran agama yang dipeluk, pada dasarnya adalah setara dengan ajaran-ajaran lainnya: bahwa itu semua adalah ekspresi kemanusiaan dalam rangka mendekati Yang Mahasuci. Buanglah klaim sebagai pemilik surga satu-satunya. Tinggalkanlah kebiasaan melabeli orang di luar agama Islam dengan kata kafir dan musyrik. Berendah hatilah, titilah jalan setapak spiritualitas yang diajarkan Islam dengan sikap santun, tanpa semangat menyerang apalagi menghancurkan agama dan keyakinan yang berbeda.
Sebagai umat Islam, galilah hakikat Islam. Tampillah sebagai kelompok manusia yang memang menawarkan kedamaian dan keselamatan, bukan menjadi kaum yang suka memaksa-maksa orang lain agar ikut dengan iming-iming surga dan ancaman neraka. Hentikan makar terhadap Pancasila dengan usaha terang-terangan ataupun diam-diam untuk mendirikan Negara Islam, juga Pemerintah-pemerintah Daerah Islam! Bumi Pertiwi ini sungguh tak akan membiarkan kebodohan dan kelaliman demikian terus meruyak. Tanah dan air Nusantara diperuntukkan bagi semua anak bangsa, apapun baju agamanya. Negeri ini hanya bisa menerima mereka yang berkesadaran Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua. Mereka yang mau memusnahkan keanekaragaman budaya dan bentuk spiritualitas di negeri ini, apalagi mau menggantinya dengan budaya padang pasir, sadarlah, hanya akan bertemu dengan kerugian bagi diri sendiri. Alih-alih berhasil, yang akan ditemui adalah bencana alam, amukan dari penjaga ghaib Nusantara!
Penutup
Aksi Merapi kali ini, semestinya menjadi pemicu kesadaran pada diri kita semua. Bangkitlah dari ketidaksadaran, dari ketenggelaman dalam ilusi yang mengatasnamakan Tuhan! Kembalilah kepada jatidiri, tengoklah kearifan lokal yang selama ini dinistakan. Hanya dengan demikian, Anda bisa selamat dari “jin setan” yang dimaksud Eyang Sabdapalon. Bencana kali ini, adalah momen untuk menyeleksi mana warga bangsa yang pantas ada di Nusantara, dan mana yang harus berpindah ke alam lain. Nusantara akan kembali jaya, dan itu hanya bisa terjadi jika Nusantara dihuni mereka yang berkesadaran ruhani tinggi, juga mereka yang bisa menghayati agama pada tataran hakikat. Karena proyek mewujudkan kejayaan Nusantara adalah sebuah proyek leluhur gung binatoro yang tak bisa dihentikan – sampun tekan titi wancine, kitalah yang mesti menyesuaikan diri.
Selamat merevolusi diri, selamat kembali pada jatidiri. Rahayu
(Sumber : http://groups.yahoo.com/group/Spiritual-Indonesia/message/126606
0 comments:
Post a Comment